Sejak Era Asnawi Mangkualam dan Syamsul Chaeruddin: Sulitnya Putra Daerah PSM Makassar Menembus Skuad Senior Timnas
Agen Berita Makasar– Sulawesi Selatan bukan sekadar nama di peta sepak bola Indonesia; ia adalah sebuah legenda. Sebuah benteng yang sejak era 80-an hingga kejayaan 2000-an tak pernah sepi melahirkan jenderal-jenderal lapangan hijau. Nama-nama seperti Ronny Wabia, Yusrifar Djafar, dan yang paling fenomenal, Syamsul Chaeruddin, adalah bukti nyata bahwa darah sepak bola mengalir deras di tanah Bugis-Makassar. Mereka bukan hanya pemain, tapi simbol kebanggaan daerah yang berani bersaing di tingkat nasional.
Namun, gemuruh itu kini terasa sayup. Dalam beberapa tahun terakhir, sebuah pertanyaan besar menggantung: Mengapa begitu sulit bagi putra daerah Sulsel untuk menembus skuad senior Timnas Indonesia? Padahal, bara itu belum padam. Tim PSM Makassar U-18 baru saja menunjukkan tajinya dengan meraih gelar juara Elite Pro Academy (EPA). Nama seperti Andi Mukhram Pamungkas dan kawan-kawannya bersinar, membawa harapan baru. Namun, jalan yang mereka lalui sekarang jauh lebih berliku dan penuh tantangan dibandingkan era para pendahulu mereka.
Dua Ikon dari Selatan: Warisan yang Berat
Untuk memahami kekosongan ini, kita harus menengok pada dua nama yang menjadi penanda zaman.
Pertama, Syamsul Chaeruddin, sang “Guru Gowa”. Dia adalah representasi sempurna dari mentalitas pejuang Sulsel. Sebagai gelandang, Syamsul bukanlah pemain yang mengandalkan skill individu yang memukau, tetapi pada visi, stamina baja, kepemimpinan, dan ketangguhan yang hampir tak tertandingi. Dari era pelatih legendaris Peter Withe hingga Ivan Kolev, posisinya di lini tengah Timnas hampir tak tergoyahkan. Dia adalah pemain wajib—seorang putra daerah yang menjadi tulang punggung nasional. Keberhasilannya adalah buah dari sistem pembinaan zamannya yang memungkinkan talenta lokal bersinar dan bersaing secara alami.

Baca Juga: PSM Makassar Dari Bandara ke Lapangan Hijau
Setelahnya, muncullah Asnawi Mangkualam Bahar. Jika Syamsul adalah produk zamannya, Asnawi adalah fenomena lintas zaman. Bek kanan yang tangguh ini berhasil mencetak sejarah dengan menjadi pilihan utama di era pelatih berkelas internasional, Shin Tae-yong. Baik di level U-23 maupun tim senior, Asnawi adalah nama pertama yang tercetak di sheet tim. Kiprahnya di luar negeri bersama Ansan Greeners di K-League 2 Korea Selatan semakin mengukuhkan bahwa pemain asal Makassar memiliki kualitas bersaing di tingkat Asia. Asnawi menjadi bukti bahwa putra daerah masih bisa menjadi bintang utama Timnas.
Namun, era Asnawi juga menjadi titik balik. Ketika proyeksi sepak bola Indonesia bergeser di bawah arahan teknis seperti Patrick Kluivert, fokus PSSI beralih secara masif kepada pemain diaspora dan naturalisasi. Hampir semua lini timnas, terutama di posisi penting, didominasi oleh pemain keturunan yang bermain di Eropa. Dampaknya langsung terasa: bahkan seorang Asnawi pun perlahan tersingkir dari skuad utama. Jika pemain sekaliber Asnawi saja kesusahan, apa harapan untuk putra daerah lainnya? Kini, skuad Timnas Indonesia senior sepi dari wajah-wajah asli Sulsel yang rutis menghiasi.
Akarnya di Rumah: Tantangan Regenerasi PSM Makassar
PSM Makassar, sang “Juku Eja” (Ikan Merah), bukan hanya klub; ia adalah institusi kebanggaan rakyat Sulsel. Sebagai klub tertua di Indonesia, tanggung jawabnya dalam menjaga tradisi melahirkan pemain lokal sangatlah besar. Namun, beban itu kini terasa hampir mustahil dipikul sendirian.
Regenerasi pemain di PSM saat ini hampir sepenuhnya bergantung pada akademi internalnya. Ini adalah sistem yang bagus, tetapi tidak cukup. Minimnya jumlah klub pendukung di level kota/kabupaten (Askot/Askab) di Sulsel membuat jalur pembinaan tidak merata dan tidak kompetitif.
Mantan pelatih PSM, Syamsuddin Umar, dengan gamblang menyoroti masalah struktural ini. “Kalau kita lihat sekarang, hampir semua pemain muda PSM datang dari akademi. Tidak ada klub Askot atau Askab yang benar-benar berkontribusi. Seharusnya 24 kabupaten/kota di Sulsel punya klub. Ada divisi tiga, divisi dua, sehingga bisa menopang PSM. Kalau tidak ada PSM, habislah kita,” ujarnya.
Pernyataan Syamsuddin menyentuh inti persoalan. PSM diibaratkan sebagai sebuah menara tinggi yang berdiri sendirian, tanpa fondasi yang kuat dan luas di bawahnya. Sepak bola tidak bisa hanya mengandalkan satu titik api, tetapi membutuhkan banyak bara dari berbagai penjuru untuk menciptakan kobaran api yang besar.
Peran Pemerintah dan KONI: Sinergi yang (Masih) Mengambang
Pembangunan sepak bola jelas bukan hanya tugas klub atau asosiasi sepak bola (Asprov PSSI Sulsel). Ini adalah proyek besar yang membutuhkan sinergi dengan pemerintah dan KONI sebagai induk olahraga.
Syamsuddin Umar kembali menekankan hal ini. “Kita harus selalu bersinergi dengan pemerintah kabupaten/kota dan provinsi. Tanpa itu, mustahil kita bisa membangun olahraga dengan serius. KONI daerah juga harus ikut mendorong, bukan hanya fokus ke olahraga tertentu saja.”
Persoalan anggaran dan fasilitas adalah hal krusial. Tanpa dukungan finansial yang memadai dan berkelanjutan, mustahil bagi klub-klub kecil di daerah untuk berkembang, menyelenggarakan kompetisi yang berkualitas, dan membina pemain muda dengan maksimal. KONI sebagai payung besar juga dituntut untuk tidak memprioritaskan cabang olahraga tertentu saja, tetapi memberikan perhatian yang proporsional pada sepak bola yang memiliki basis massa sangat besar.
Suporter dan Realitas Pahit: Hilangnya Klub-Klub Pengumpan
Realitas pahit ini juga dilihat oleh Sadakati Sukma, pembina Presidium Nasional Suporter Sepak Bola Indonesia (PNSSI). Ia mengenang era di mana Sulsel tidak hanya mengandalkan PSM. “Dulu kita punha banyak klub di Liga 2 atau Liga 3. Sebut saja Persipare Parepare, Sidrap United, Gaspa 1950, Gaswa Wajo, dan lain-lain. Mereka adalah klub pengumpan yang vital. Sekarang, hanya PSM yang tersisa. Itu pun berjuang sendirian. Akibatnya, talenta dari daerah tidak terserap dengan baik.”
Yang lebih menyedihkan, menurut Sadakati, banyak kegiatan sepak bola di daerah yang hanya bersifat seremonial. “Banyak kompetisi hanya dijadikan ajang habiskan anggaran tanpa tindak lanjut yang jelas. Setelah turnamen selesai, ya sudah selesai juga. Tidak ada pembinaan, tidak ada follow up. Itu yang membuat sepak bola Sulsel tidak berkembang,” tegasnya. Kompetisi bukan lagi tentang mencari bibit, tetapi tentang menuntaskan proyek dan laporan penggunaan dana.
Jalan Panjang Menuju Timnas: Bersaing di Era yang Berubah
Inilah realitas yang dihadapi Andi Mukhram Pamungkas dan generasinya. Mereka tidak hanya harus bersaing dengan sesama talenta lokal atau pemain dari daerah lain di Indonesia. Tantangan terberat mereka adalah harus memecah benteng pemain naturalisasi dan diaspora yang didukung oleh sistem pembinaan luar negeri dan kebijakan sepak bola nasional yang sedang fokus ke sana.
Harapan itu masih ada, tetapi samar. Kunci utamanya ada pada pembangunan ekosistem dari bawah.
-
Revitalisasi Klub Lokal: Setiap kabupaten/kota harus memiliki klub yang dikelola dengan profesional, berlaga di Liga 3 atau 2, dan menjadi rumah bagi talenta muda di daerahnya.
-
Sinergi Segitiga Emas: Kerja sama yang solid antara Asprov/Askab PSSI, Pemerintah Daerah (melalui Dinas Pemuda dan Olahraga), dan KONI adalah suatu keharusan. Perencanaan program yang berkelanjutan, bukan seremonial, adalah kuncinya.
-
Peran PSM sebagai Ujung Tombak: PSM harus lebih agresif dalam menjalin kemitraan dengan klub-klub lokal sebagai feeder club, mengadakan scouting yang lebih luas ke seluruh penjuru Sulsel, dan konsisten memberikan menit bermain bagi pemain muda di tim utama.
-
Dukungan Suporter yang Kritis: Suporter tidak hanya berperan sebagai penyemangat di tribun, tetapi juga dapat menjadi pengawal untuk memastikan setiap stakeholder menjalankan perannya dengan transparan dan berorientasi pada pembangunan jangka panjang.
Mimpi melihat putra daerah Sulsel kembali berseragam Merah-Putih dan menjadi pilar Timnas Indonesia bukanlah hal yang mustahil. Warisan Syamsul Chaeruddin dan jejak yang ditinggalkan Asnawi Mangkualam membuktikan bahwa mereka punya bakat dan mental untuk itu. Namun, tanpa upaya kolektif dan pembenahan sistem yang serius, nama-nama besar itu akan tetap menjadi kenangan indah yang hanya bisa dikisahkan, bukan dilanjutkan. Pilihan ada di tangan semua pihak: membiarkannya menjadi nostalgia atau bangkit dan menciptakan era keemasan baru.
